Bahaya Bystander Effect

Beberapa waktu yang lalu, aku baca berita dari VOA Indonesia bahwa seorang laki - laki melecehkan dan perkosa seorang perempuan di dalam kereta komuter, namun yang menjadi perhatian adalah para penumpang kereta tersebut ngga ada yang merespon atau bertindak untuk menolong. Insiden ini terjadi pada tanggal 13 Oktober 2021 di Philadelphia, Amerika Serikat. Berdasarkan laporan polisi, kejadian ini berlangsung selama lebih dari 40 menit. Sementara para penumpang kereta tidak segera untuk menghetikannya atau setidaknya menghubungi 911 (nomor telepon darurat AS). Dikatakan juga bahwa para penumpang saling memegang handphone mereka bahkan ada yang merekam kejadian tersebut. Trus akhirnya ada seorang pegawai transit yang menghubungi 911 setelah melihat ada yang tidak beres dengan si mbak itu. Lantas mengapa hal ini bisa terjadi?

Jadi fenomena tersebut merupakan bystander effect. 

Menurut Prof. Elizabeth Jeglic, John Jay College of Criminal Justice, mengartikan bystander effect  sebagai "keadaan dimana semua orang berpikir bahwa akan ada orang lain yang melakukan sesuatu, sehingga mereka sendiri tidak perlu. Dan pada akhirnya tak ada seorangpun yang melakukan apa - apa".


Dilansir dari hellosehatfenomena ini dicetuskan oleh Bibb Latane dan John Darley. Mereka mneyimpulkan bahwa ada 2 alasan hal ini bisa terjadi :
1. Difusi Tanggung Jawab
    Dari hasil penelitian mereka, kesimpulannya adalah semakin banyak orang di tempat kejadian tersebut, maka kecil kemungkinan ada orang yang menolongnya dan bahkan butuh waktu yang lama bagi seseorang untuk mengambil tindakan. Sebaliknya, semakin sedikit orang di tempat kejadian tersebut, maka kemungkinan suatu pertolongan akan datang lebih cepat. Jadi, hal ini bergantung pada berapa banyak orang yang berada di tempat sangat mempengaruhi jumlah waktu yang dibutuhkan untuk datangnya pertolongan. 
2. Selalu melihat situasi 
    Ini nih yang sering terjadi, bahwa kebanyakan orang yang berada di tempat kejadian tersebut malah sebagai pengamat, yaaaa walaupun gak semua orang harus menolong, cuman dalam bystander effect ini cenderung ingin melihat reaksi dari orang lain dulu, atau bisa juga takut untuk menjadi orang pertama yang bertindak, atau takut salah karena kurang yakin dengan kemampuan yang dimiliki untuk membantu si korban. 

Menurut Elie Wiesel, "what hurts the victim most is not the cruelty of the oppressor, but the silence of bystander". Ngeri juga sih.

Tapi kalo dipikir - pikir ada dilemanya juga, ada alasan tersendiri kenapa kok ngga memberikan pertolongan bagi orang lain. Yaaa bisa jadi, mereka takut disangka sok ikut campur atau bukan kapasitas dia untuk menolong. Mungkin ini bisa terjadi pada kasus di lingkup rumah tangga atau KDRT. Ada juga alasan lain yaitu takut jika dia terlibat dalam masalah yang terjadi pada si korban, ngga mau berurusan dengan pihak berwajib misalnya. 

Trus gimana kita mengatasi bystander effect ini?
Pasti kalo ada sebuah masalah atau insiden, tentu ada si korban dan si pelaku. Jadi, sebisa mungkin kita melakukan tindakan walaupun skalanya kecil doang, jika dirasa ngga mampu atau takut salah, maka segera cari bantuan sekitar. Itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Selain itu, menumbuhkan empati dan simpati pada orang lain. Karena, yaaa balik lagi, kita sebagai makhluk sosial. Udah gitu. Kalo kata temenku nih "hidup itu soal ganti - gantian". Kita ditolong, ya kita juga menolong. 

Trus gimana kalo kita sebagai si korban yang sangat butuh pertolongan ketika orang di sekitar belum merespon? Dilansir dari verywellmind, bahwa menurut psikologi, lakukan kontak mata dengan orang di sekitarmu, tujukkan tatapan tersebut pada seseorang, atau dengan teriak memanggil bantuan jika memungkinkan. Hal ini bisa menjadi sinyal untuk memanggil orang lain. 

Okee, semoga fenomena tersebut tidak terjadi di lingkungan kita. Terima kasih lagi buat yang sudah baca sampai akhir. Semoga blog ini bisa menjadi bacaan ringan buat temen - temen. 
Feel free untuk share atau mau menambahkan. Babay
 
    



Comments

Post a Comment

Popular Posts